One
“Byyyy...” suara berat
itu menggema dari ujung lorong. Faby berhenti. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa
pemiliknya. Hanya seseorang itu yang memanggilnya begitu di sekolah.
Suara decit sepatu yang
bergesek dengan lantai keramik terdengar semakin nyaring. Membuat telinga Faby
sedikit terganggu karenanya. Kemudian sepasang sepatu itu berhenti di
sebelahnya. Faby menoleh dan mendapati Kevin tengah tersenyum. Faby ikut
tersenyum bermaksud membalasnya.
“Nanti lo nonton gue,
kan?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Kevin. Mengingatkan Faby
dari kejadian semalam. Ketika cowok itu mengirimkan pesan dengan pertanyaan yang
sama. Sedangkan dirinya berkata seribu alasan untuk mengulur waktu memberi
jawaban. Dia tidak ingin membuat janji yang sama lalu mengingkarinya. Faby
takut apabila hal itu terjadi, dia sendiri yang akan mendapat getahnya. Dia
ditinggalkan.
“By, kok malah diem
sih? Katanya mau jawab hari ini.”
Faby kelabakan. Tidak
tahu akan menjawab apa. “Iya, tapi nggak sepagi ini Vin.” Hanya itu yang bisa
dia katakan. Untuk sementara.
Sorot mata Kevin
menghangat. Menatap Faby yang menunduk. “Kalau nggak bisa lihat, nggak apa-apa
kok. Lo bisa doain gue seperti biasanya.”
Faby mendongak. Dilihatnya
Kevin tengah tersenyum. Namun ada perbedaan pada sorot matanya. Mata cokelat
itu sedikit redup, menyimpan rasa sedih dibaliknya. Mungkin akibat Kevin
terlalu mengharap jawaban Faby akan berubah dengan 2 tahun sebelumnya. Dari ‘tidak’
menjadi ‘ya’.
Faby gelisah. Bingung
menjawab apa. Dia tidak bisa menghancurkan perasaan Kevin. Tapi di sisi lain,
dirinya juga tidak bisa berjanji pada lelaki. Tetapi tiba-tiba saja pesan
Monica berputar di otaknya.
® ®
Malam itu, Faby, Alvio, dan Monica sedang menikmati
akhir pekan bersama. Kali ini mereka mengadakan pajama party
di rumah Monica yang besar dan mewah. Namun terlihat sepi secara bersamaan. Monica
adalah anak tunggal yang selalu ditinggal kedua orang tuanya. Ayahnya sibuk
berbisnis, sedangkan mamanya sibuk bersosialita.
Mereka berkumpul di kamar. Duduk di lantai
beralaskan karpet berbulu tebal. Bungkus makanan ringan berserakan di depan
mereka. Sebagai pelengkap ketika saling bertukar cerita. Dimulai dari cerita
konyol mereka lalu diakhiri cerita romansa yang menyita perhatian.
Seperti cerita kerumitan kisah cinta Faby. Hingga
dia dibuat menangis karenanya. Bukan masalah dia patah hati. Gadis itu belum
sepenuhnya menerima kehadiran Kevin dalam hidupnya. Ada seseorang yang ditunggu
akan penjelasannya. Selalu dinantinya, meskipun terkadang dia ingin menyerah.
Faby menangis meluapkan rasa frustasinya. Ditutupnya
wajah dengan bantal bergambar sushi itu. Agar suara tangisannya tidak terdengar
ke lantai 1.
Alvio beranjak mendekat. Memeluk gadis itu erat. Walaupun
tidak mengalaminya secara langsung, Alvio tahu akan rasanya. Sakit.
Malam semakin larut. Tangisan Faby sudah mereda. Walaupun
bahunya masih sedikit bergetar. Ia lega berhasil meluapkan emosinya.
Tak apa apabila hanya Alvio yang menenangkannya
sedari tadi. Memang karakter Monica begitu. Dia tidak suka memeluk seseorang. Biasanya
dia berperan dalam memberi nasihat. Tapi kali ini dia diam. Seolah menjadi
pendengar yang baik.
“Feb,” ucapan Monica menggantung. Sengaja menunggu
jawaban dari si empunya nama. Faby yang sedang mencuci muka di kamar mandi
terdengar menyahut. Meski tidak jelas.
“Waktu 5 tahun emang nggak sebentar Feb. Tapi ada
yang harus lo pahami di sini. Jangan sia-siakan orang yang suka sama lo. Dia
udah banyak berkorban buat lo. Jangan sampai lo mengalami apa yang namanya
ditinggalin untuk kedua kalinya.”
Setelah itu tak ada percakapan lagi. Begitu Faby
keluar dari kamar mandi, Alvio dan Monica sudah berbaring di kasur dengan
selimut menutupi tubuh mereka.
-TBC-
My first story and also on wattpad.
Komentar
Posting Komentar