99 Days ( To Me... You are Everything )


One


“Byyyy...” suara berat itu menggema dari ujung lorong. Faby berhenti. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa pemiliknya. Hanya seseorang itu yang memanggilnya begitu di sekolah.
Suara decit sepatu yang bergesek dengan lantai keramik terdengar semakin nyaring. Membuat telinga Faby sedikit terganggu karenanya. Kemudian sepasang sepatu itu berhenti di sebelahnya. Faby menoleh dan mendapati Kevin tengah tersenyum. Faby ikut tersenyum bermaksud membalasnya.
“Nanti lo nonton gue, kan?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Kevin. Mengingatkan Faby dari kejadian semalam. Ketika cowok itu mengirimkan pesan dengan pertanyaan yang sama. Sedangkan dirinya berkata seribu alasan untuk mengulur waktu memberi jawaban. Dia tidak ingin membuat janji yang sama lalu mengingkarinya. Faby takut apabila hal itu terjadi, dia sendiri yang akan mendapat getahnya. Dia ditinggalkan.
“By, kok malah diem sih? Katanya mau jawab hari ini.”
Faby kelabakan. Tidak tahu akan menjawab apa. “Iya, tapi nggak sepagi ini Vin.” Hanya itu yang bisa dia katakan. Untuk sementara.
Sorot mata Kevin menghangat. Menatap Faby yang menunduk. “Kalau nggak bisa lihat, nggak apa-apa kok. Lo bisa doain gue seperti biasanya.”
Faby mendongak. Dilihatnya Kevin tengah tersenyum. Namun ada perbedaan pada sorot matanya. Mata cokelat itu sedikit redup, menyimpan rasa sedih dibaliknya. Mungkin akibat Kevin terlalu mengharap jawaban Faby akan berubah dengan 2 tahun sebelumnya. Dari ‘tidak’ menjadi ‘ya’.
Faby gelisah. Bingung menjawab apa. Dia tidak bisa menghancurkan perasaan Kevin. Tapi di sisi lain, dirinya juga tidak bisa berjanji pada lelaki. Tetapi tiba-tiba saja pesan Monica berputar di otaknya.
® ®
Malam itu, Faby, Alvio, dan Monica sedang menikmati akhir pekan bersama. Kali ini mereka mengadakan pajama party di rumah Monica yang besar dan mewah. Namun terlihat sepi secara bersamaan. Monica adalah anak tunggal yang selalu ditinggal kedua orang tuanya. Ayahnya sibuk berbisnis, sedangkan mamanya sibuk bersosialita.
Mereka berkumpul di kamar. Duduk di lantai beralaskan karpet berbulu tebal. Bungkus makanan ringan berserakan di depan mereka. Sebagai pelengkap ketika saling bertukar cerita. Dimulai dari cerita konyol mereka lalu diakhiri cerita romansa yang menyita perhatian.
Seperti cerita kerumitan kisah cinta Faby. Hingga dia dibuat menangis karenanya. Bukan masalah dia patah hati. Gadis itu belum sepenuhnya menerima kehadiran Kevin dalam hidupnya. Ada seseorang yang ditunggu akan penjelasannya. Selalu dinantinya, meskipun terkadang dia ingin menyerah.
Faby menangis meluapkan rasa frustasinya. Ditutupnya wajah dengan bantal bergambar sushi itu. Agar suara tangisannya tidak terdengar ke lantai 1.
Alvio beranjak mendekat. Memeluk gadis itu erat. Walaupun tidak mengalaminya secara langsung, Alvio tahu akan rasanya. Sakit.
Malam semakin larut. Tangisan Faby sudah mereda. Walaupun bahunya masih sedikit bergetar. Ia lega berhasil meluapkan emosinya.
Tak apa apabila hanya Alvio yang menenangkannya sedari tadi. Memang karakter Monica begitu. Dia tidak suka memeluk seseorang. Biasanya dia berperan dalam memberi nasihat. Tapi kali ini dia diam. Seolah menjadi pendengar yang baik.
“Feb,” ucapan Monica menggantung. Sengaja menunggu jawaban dari si empunya nama. Faby yang sedang mencuci muka di kamar mandi terdengar menyahut. Meski tidak jelas.
“Waktu 5 tahun emang nggak sebentar Feb. Tapi ada yang harus lo pahami di sini. Jangan sia-siakan orang yang suka sama lo. Dia udah banyak berkorban buat lo. Jangan sampai lo mengalami apa yang namanya ditinggalin untuk kedua kalinya.”
Setelah itu tak ada percakapan lagi. Begitu Faby keluar dari kamar mandi, Alvio dan Monica sudah berbaring di kasur dengan selimut menutupi tubuh mereka.

-TBC-

My first story and also on wattpad.

Komentar